Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Suku Jawa: Dicintai dan Dibenci

credit image by pixabay

Jika kita berbicara tentang suku Jawa, maka akan ada banyak sekali hal positif dan negatif yang akan kita temukan dari suku yang menempati populasi terbesar di Indonesia ini. 

Mengingat dominasinya yang luar biasa di Indonesia, maka segala hal positif dan negatif yang berkaitan dengan suku Jawa itu juga sangat mempengaruhi karakter bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Apa dan siapa sebenarnya suku Jawa itu? Tulisan berikut ini akan mencoba sedikit untuk membahasnya. Silahkan membacanya hingga selesai sehingga Anda akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suku Jawa tersebut.

Suku Jawa merupakan satu suku yang sangat mayoritas di Indonesia. Hampir separuh dari jumlah etnis dan suku di Indonesia (sekitar 40,05%) adalah etnis Jawa. 

Hal ini sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru. Mereka berasal dari pulau Jawa bagian tengah dan timur, tetapi mereka juga menyebar di berbagai daerah dan pulau lainnya, hampir di seluruh wilayah Indonesia. 

Sub-suku Jawa berada di kawasan sekitar gunung Bromo yang disebut dengan suku Tengger, dan sekitar kawasan Banyuwangi yang disebut dengan suku Osing.

Agama dan Kepercayaan

Penganut agama Islam masih mendominasi suku ini, namun jumlah penganut agama Kristen dan Katolik juga tidak bisa dikatakan kecil. Agama Buddha dan Hindu juga mendapatkan porsi yang lumayan di suku ini. 

Memang, suku Jawa merupakan suku yang terbuka, sehingga meskipun berasal dari suku bangsa yang sama namun cara berpikir mereka sangat beragam.

Jauh sebelum agama dari luar masuk ke Indonesia, sebenarnya masyarakat suku Jawa telah memiliki agama asli mereka, yang disebut dengan Kejawen. Perilaku Kejawen sangat menekankan pada keharmonisan serta keseimbangan, dan tidak pernah terikat pada sebuah aturan baku yang kaku.

Aliran spiritual ini sangat kaya karena melingkupi tradisi, seni, budaya, dan pandangan filosofis masyarakat Jawa. Aliran Kejawen sangat menekankan pada nilai - nilai kehidupan dan budi pekerti yang luhur.

Biasanya, aliran spiritual ini dibarengi dengan "laku", yang disimbolkan dengan benda-benda yang dianggap mewakili budaya Jawa, seperti keris, tombak, bunga-bunga tertentu, tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral, dan lain sebagainya. Maka, tak jarang, jika Kejawen sering diasosiasikan dengan klenik.

Seiring dengan perkembangan jaman, aliran Kejawen mengalami sinkretisme dengan agama-agama lain yang datang dari luar, sehingga kemudian muncul golongan Islam Kejawen, Katolik Kejawen, dan sebagainya.

Stratifikasi Sosial

Seorang Antropolog asal Amerika Serikat yang cukup terkenal yaitu Clifford Geertz, dalam penelitiannya pada tahun 1960-an, membagi masyarakat Jawa menjadi 3 kelompok atau golongan yaitu golongan santri, golongan abangan, dan golongan priyayi.

Bagi pemeluk Islam yang taat akan dianggap berada dalam kelompok yang di sebut santri, sedangkan kaum bangsawan (keraton) termasuk dalam kelompok priyayi, dan pemeluk Islam kejawen disebut sebagai kelompok kaum abangan. 

Akan tetapi, teori tersebut kemudian mendapatkan banyak sekali kritikan karena dianggap mencampur adukkan antara kelompok sosial dengan kelompok kepercayaan. Di samping itu, pengelompokan itu juga tidak bisa digunakan untuk mengelompokkan orang yang datang dari luar Jawa.

Seni

Kesenian masyarakat Jawa banyak dipengaruhi oleh tradisi agama Buddha dan Hindu. Hal tersebut tentu dapat dimaklumi karena kedua agama tersebut terlebih dahulu ada di Indonesia dibandingkan dengan agama Kristen atau bahkan Islam yang datang belakangan.

Cerita wayang sebagian besar diadaptasi dari cerita epik Mahabharata dan Ramayana. Selain itu, karya seni masyarakat Jawa yang terkenal adalah batik, keris, dan gamelan. Gamelan adalah seperangkat alat musik tradisional Jawa yang dimainkan bersama-sama, mirip seperti orkestra.

Jawanisme

Karakter masyarakat Jawa sangat feodalistik. Adalah Pramoedya Ananta Toer, yang merupakan salah seorang sastrawan kondang di Indonesia, yang mendefinisikannya sebagai ketaatan membabi buta pada kekuasaan.

Sisi positifnya adalah bahwa masyakarat Jawa masih menghormati raja mereka, dan kedudukan raja bukan sekadar simbolis di era modern ini, melainkan masih memiliki kekuasaan dan kekuatan. 

Hal ini memungkinkan budaya Jawa dan tradisinya masih terus terjaga dengan apik hingga hari ini, meskipun sudah mengalami banyak sekali benturan dan pengeroposan di sana-sini.

Sisi negatifnya kemudian adalah bahwa Jawanisme ini dianggap sebagai biang kerok yang membentuk mental bangsa Indonesia menjadi mental "buruh". Ia dianggap sebagai biang keladi dan penyebab terbesar suburnya kolonialisme dan imperialisme selama berabad-abad, bahkan hingga kini.

Masyakarat Jawa yang terlalu mengagung-agungkan kekuasan itu dianggap mematikan budaya kritis dengan tetap mendukung kekuasaan yang pincang, karena mereka merasa sudah cukup nyaman dengan menjadi "penjilat" dan mendapatkan banyak keuntungan dari situ.

Tradisi Feodalisme Jawa hingga hari ini memang masih sangat kentara, dimana fakta berbicara bahwa hampir semua presiden Republik Indonesia merupakan keturunan langsung orang-orang dari suku Jawa. 

Dan, betapa pun pincangnya pemerintahan mereka, mereka tetap mendapatkan dukungan dari sebagian besar masyarakat yang lebih suka mencari aman. Hal ini selaras dengan prinsip hidup orang dari suku Jawa yang mengutamakan keharmonisan, dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari konflik.

Maka tidak heran jika predikat suku yang paling mendominasi di Indonesia ini, baik secara kuantitif maupun kualitatif, menjadikan suku Jawa banyak mendapat pujian, tetapi juga tidak pernah sepi dari kritikan, apakah dari orang Jawa sendiri atau dari suku yang lain.

Walaupun faktanya suku Jawa adalah suku terbesar dan mayoritas di Indonesia, hal itu bukanlah menjadi dasar dan alasan mereka untuk kemudian merasa jumawa (sombong) dan superior terhadap suku dan etnis lainnya di Indonesia. 

Namun sebaliknya itu menjadi dasar bagi mereka untuk mengayomi dan menghormati agar tercipta kehidupan berbangsa yang harmonis dan penuh dengan rasa persatuan.

Kelompok mayoritas dan kelompok minoritas memiliki hak dan kewajiban yang sama dan sejajar di Indonesia. Negara tidak mengistimewakan etnis dan suku tertentu hanya karena jumlah populasinya yang besar. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia.

Suku jawa dengan segala kelebihan dan kekurangannya akan selalu di cintai, walaupun terkadang juga di benci. Namun dengan segala kearifannya suku Jawa akan selalu diterima dengan tangan terbuka, dimanapun dan oleh siapapun di Indonesia.

Dengan segala fakta - fakta yang sudah dikemukakan diatas maka tidak mengherankan jika hari ini keberadaan orang - orang Jawa tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia, dari Aceh hingga Papua.

Demikianlah ulasan singkat ini, semoga bisa menambah wawasan kita semua tentang suku Jawa dengan segala kompleksitasnya.

Mas Pujakusuma
Mas Pujakusuma "Visi Tanpa Eksekusi Adalah Halusinasi" - Thomas Alva Edison

Posting Komentar untuk " Suku Jawa: Dicintai dan Dibenci"