Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Habitus, Sebuah Teori Budaya

credit image by freepik.com
 
Henry Bergson mengatakan bahwa kebudayaan adalah gairah hidup yang selalu bergerak maju, kendala materi penting dalam hidup manusia karena dengan menghadapi satu kendala konsentrasi manusia lebih utuh. Kendala ini dijadikan titik pijak untuk meloncat lebih jauh.

Sedangkan menurut Franz Boas, kebudayaan mencakup seluruh manifestasi kebiasaan sosial dari suatu masyarakat. Reaksi seorang individu yang timbul karena pengaruh kebiasaan masyarakat tempat tinggal dan hasil karya kegiatan manusia sebagaimana ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan itu.

Untuk memahami suatu budaya, diperlukan sebuah teori yang dapat mengupasnya. Pada postingan artikel kali ini, saya akan mengulas sebuah teori budaya dari seorang filsuf kenamaan asal Prancis yang bernama Pierre Bourdieu. Konsep pemikirannya yang akan kita bicarakan di sini adalah Habitus.

Apa itu Habitus?

Secara sederhana habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan (dari kata habits). Artinya, kebudayaan pada dasarnya merupakan kebiasaan-kebiasaan manusia yang diwariskan secara turun-temurun antar generasi.

Proses pelestarian kebiasaan ini dilakukan melalui lembaga seperti rumah tangga, sekolah, masyarakat, serta negara. Begitu pula dengan norma, dimana norma berfungsi sebagai nakhoda yang mengatur kebiasaan-kebiasaan tersebut.

Anda mungkin pernah mendengar istilah Behaviourisme dalam ilmu Psikologi atau perilaku. Nah, habitus ini berbeda dengan behaviourisme. 

Walaupun sumber kebiasaan dan prilaku manusia sama-sama dibentuk melalui lingkungan, habitus memandang manusia sebagai subjek yang aktif, sedangkan behaviourisme lebih memandang manusia sebagai objek yang pasif.

Dalam habitus, manusia dapat menolak kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam lingkungannya, sedangkan dalam behaviourisme manusia cenderung dikatakan sebagai objek yang dapat dibentuk menjadi apapun sesuai dengan lingkungannya dan termasuk lemah dalam menolak kebiasaan-kebiasaan.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak habitus kita yang berjalan seperti ”mesin” dan mengarah pada gerak-gerak yang refleks. Kondisi gerakan ini bisa kita sebut juga sebagai disiplin tubuh. Kebiasaan-kebiasaan kita dalam menjalankan ritual ibadah lebih sering karena perilaku habitus.

Orang Islam bangun pagi setiap hari untuk menjalankan shalat subuh, di siang hari shalat dzuhur, dan di malam hari menjalankan shalat Isya. Hal itu bisa dikatakan sebagai habitus jika ritual itu hanya sekedar rutinitas tanpa memiliki efek dalam kehidupan.

Begitu pula orang Kristen yang pergi ke Gereja setiap hari minggu, tanpa tahu hakekat kegiatan tersebut dapat dikategorikan sebagai habitus.

Setiap kebiasaan kita yang berjalan seolah - olah secara mekanis adalah habitus. Maka kita akan memahami mengapa orang-orang rajin beribadah tetapi maksiat jalan terus. Begitu pula kita memahami mengapa orang beragama, tetapi kebencian kepada orang lain tetap ada. Itu semua karena perilaku dan kebiasaan kita hanya baru sekadar habitus.

Contoh lain misalnya, di sekolah, kita sering menundukan pandangan saat berpapasan dengan guru, atau kita sering merendahkan badan kita ketika berjalan melewati orang-orang yang sedang duduk.

Perilaku-perilaku ini pada dasarnya dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan secara turun-temurun dan dijaga oleh norma agar tubuh kita tetap disiplin. Mungkin Anda sering ingin berontak terhadap habitus-habitus tersebut, namun kekuatan itu biasanya hilang karena kita sering dihadapkan dengan hukuman-hukuman.

Habitus ini juga berjalan dalam hubungan dominasi kaum pria terhadap wanita. Wanita selalu diposisikan sebagai manusia yang kedudukannya di bawah pria. Sistem patrilineal misalnya, memposisikan pria sebagai tuan yang mengatur segala urusan termasuk urusan wanita.

Wanita selalu diberi perkerjaan yang menurut kaum pria rendah, misalnya mengurus rumah tangga, memelihara kebun, mengasuh anak, atau mencuci pakaian.

Di dalam kebudayaan Arab – Bourdieu mencontohkan kebudayaan Arab Kubail di Aljazair – misalnya, wanita tidak boleh pergi ke luar rumah. Kalaupun mereka harus pergi ke luar rumah, mereka harus menundukkan wajah dan pandangannya, juga tidak boleh melakukan kontak mata dengan siapa pun yang ada di luar rumah.

Nah, sekarang coba perhatikan di sekitar tempat tinggal Anda, apa habitus yang sering berjalan di sana?

Masalah Budaya dan Tata Nilainya

credit image by freepik.com

Mengapa masalah budaya bisa muncul? Inilah pertanyaan sederhana yang jawabannya tidak sesederhana pertanyaannya. Kebudayaan merupakan budi daya dan tingkah laku manusia. 

Perlaku manusia akan digerakkan oleh akal serta perasaannya. Yang mendasari semua itu adalah perasaan hatinya. Perasaan ini merupakan keyakinan dan penghayatannya terhadap sesuatu yang diangap benar.

Kebudayaan juga diartikan sebagai cara berpikir dan cara merasakan, yang menyatakan diri dalam seluruh sendi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk sebuah kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. 

Cara berpikir dan cara merasakan adalah kebudayaan batiniah, sedangkan perwujudannya (manifestasi nya) dalam bentuk cara berlaku dan cara berbuat merupakan kebudayaan lahiriah.

Kebudayaan juga dipandang sebagai tata nilai. Seorang individu dalam masyarakat atau masyarakat itu sendiri berbuat sesuatu, karena sesuatu itu bernilai atau berguna bagi kehidupannya. 

Barang sebagai hasil perbuatannya itu mengandung nilai. Jadi, tingkah laku dan hasil perbuatannya dalam kebudayaan menuju pada realitas nilai.

Berbicara masalah kebudayaan, tentu akan sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Sebab tata nilai yang muncul dalam sebuah kebudayaan berlaku tidak universal. Tata nilai tersebut akan terbatas oleh ruang, wilayah, dan batas teritorial suatu wilayah. 

Misalnya, tata nilai budaya yang berlaku di daerah A, belum tentu dapat berlaku di daerah B. Dengan demikian akan lahir beragam bentuk tata nilai yang memperkaya budaya.

Kebudayaan yang membudaya merupakan cerminan dari tingkah laku individu maupun suatu kelompok/ komunitas tertentu yang pastinya memiliki ciri. Sesuatu hal yang membudaya terkadang relatif bergantung dari individu yang menjalaninya.

Namun, seperti halnya dogma. Seseorang yang sering berhadapan dengan suatu budaya, akan sering pula dirinya menyerap kebudayaan tersebut sehingga kebiasaan itu menjadi membudaya pada pikiran, pola sikap, maupun tingkah lakunya akan terpengaruh.

Budaya yang membudaya dapat juga terjadi karena suatu tuntutan. Ketika seorang individu masuk pada komunitas tertentu yang memiliki ciri kebudayaan yang khas. 

Sekalipun individu tersebut memiliki pemikiran yang relatif, namun dengan seringnya ia berinteraksi dan bersentuhan dengan kebudayaan yang ia masuki, maka kerelatifan tersebut akan segera menghilang karena adanya suatu kewajiban dalam diri individu tersebut untuk menyesuaikan diri dan mengikuti tata cara dari kebudayaan yang tengah dimasukinya.

Terkendali atau tidak, budaya yang telah diserap sehingga telah membudaya pada diri seseorang akan terbawa sekalipun telah keluar dari komunitas yang budayanya telah ia serap. 

Hal itu juga dapat ia terapkan pada lingkungan baru yang ditinggalinya selama ia mampu mempertahankan kebiasaanya tersebut. Tetapi kebanyakan budaya yang membudaya pada seorang individu tersebut akan kembali memudar mengikuti budayanya yang baru.

Satu hal yang pasti, budaya akan terus berubah karena perkembangan jaman dan teknologi. Kita sebagai anggota masyarakat mau tidak mau akan juga mengalami perubahan tersebut karena kita memang hidup di era perubahan dan perkembangan teknologi tersebut. Siapa saja yang tidak mengikuti perkembangan tersebut maka dia akan terlindas oleh jaman.

Demikianlah ulasan tentang Habitus, Sebuah Teori Budaya, semoga bisa menambah wawasan dan pengetahuan kita semua.

Mas Pujakusuma
Mas Pujakusuma "Visi Tanpa Eksekusi Adalah Halusinasi" - Thomas Alva Edison

Posting Komentar untuk " Habitus, Sebuah Teori Budaya"