Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masalah Budaya dan Tata Nilainya

credit image by freepik.com

Mengapa permasalahan tentang budaya bisa muncul? Inilah pertanyaan sederhana yang jawabannya tidak sesederhana pertanyaannya. Kebudayaan adalah budi daya, yaitu tingkah laku manusia. 

Tingkah laku manusia digerakkan oleh akal dan perasaannya. Yang mendasari semua itu adalah perasaan hatinya. Perasaan ini merupakan keyakinan dan penghayatannya terhadap sesuatu yang di anggap benar.

Kebudayaan pun diartikan sebagai cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan satu waktu.

Cara berpikir dan cara merasa merupakan kebudayaan batiniah, sedangkan manifestasinya dalam bentuk cara berlaku dan cara berbuat adalah kebudayaan lahiriah.

Kebudayaan pada umumnya juga dipandang sebagai tata nilai. Seorang individu dalam masyarakat atau masyarakat itu sendiri berbuat sesuatu, karena sesuatu itu bernilai atau berguna bagi kehidupannya. 

Barang sebagai hasil perbuatannya itu mengandung nilai. Jadi, tingkah laku dan hasil perbuatannya dalam kebudayaan menuju pada realitas nilai.

Jika kita berbicara tentang masalah kebudayaan, tentu sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Sebab tata nilai yang muncul dalam sebuah kebudayaan berlaku tidak universal. Tata nilai tersebut akan terbatasi oleh ruang, wilayah, dan batas teritorial suatu wilayah. 

Misalnya, tata nilai budaya yang berlaku di daerah A, belum tentu dapat berlaku di daerah B. Dengan demikian akan lahir beragam bentuk tata nilai yang memperkaya budaya.

Kebudayaan yang membudaya merupakan cerminan dari tingkah laku individu maupun suatu kelompok atau komunitas tertentu yang pastinya memiliki ciri yang unik. Sesuatu hal yang membudaya terkadang relative bergantung dari individu yang menjalaninya.

Namun, seperti halnya dogma. Seseorang yang sering berhadapan dengan suatu budaya, akan sering pula dirinya menyerap kebudayaan tersebut sehingga kebiasaan itu menjadi membudaya pada pikiran, pola sikap, maupun tingkah lakunya akan terpengaruh.

Budaya yang membudaya dapat juga terjadi karena suatu tuntutan. Ketika seorang individu masuk pada komunitas tertentu yang memiliki ciri kebudayaan yang khas. 

Sekalipun individu tersebut memiliki pemikiran yang relatif, namun dengan seringnya ia berinteraksi dan bersentuhan dengan kebudayaan yang ia masuki, maka kerelativan tersebut akan segera menghilang karena adanya suatu kewajiban dalam diri individu tersebut untuk menyesuaikan diri dan mengikuti tata cara dari kebudayaan yang tengah dimasukinya.

Terkendali ataupun tidak, budaya yang telah diserap sehingga telah membudaya pada diri seseorang akan terbawa sekalipun telah keluar dari komunitas yang budayanya telah ia serap. 

Hal itu juga dapat ia terapkan pada lingkungan baru yang ditinggalinya selama ia mampu mempertahankan kebiasaanya tersebut. Tetapi kebanyakan budaya yang membudaya pada seorang individu tersebut akan kembali memudar mengikuti budayanya yang baru.

Kenapa Harus Ada Konflik Budaya?

Hidup di Indonesia kelihatannya sangat melelahkan, bukan hanya karena setiap hari melihat politik yang tidak jelas, tetapi kadang kita jua disuguhi tontonan konflik budaya yang berlangsung di berbagai tempat di Indonesia.

Ada yang berkonflik karena masalah ekonomi, ada pula yang perang kampung karena hal sepele, atau sering pula terjadi karena salah paham dua kelompok. 

Di manakah hasil pendidikan yang selama ini kita jalani? Dari SD hingga SMA kita diajarkan mengenai moral dan etika, entah itu itu PMP (Pendidikan Moral Pancasila), PPKN, dan sekarang menjadi Kewarganegaraan. Ke manakah hasilnya?

Ada yang bilang bahwa pelaksanaan pendidikan moral tidak dijiwai oleh kesadaran yang luas. Bagaimana kita mau sadar, sementara kita tinggal di kota sedangkan budaya itu tetap tinggal di pelosok-pelosok nusantara yang miskin dan tidak ada akses. 

Bagaimana kita bisa menjiwai sementara pendidikan hanya dihitung secara matematis, output hanya ditentukan oleh yang namanya Ujian Nasional.

Budaya yang selalu kita banggakan sebagai kekayaan nusantara hanya menjadi hiasan-hiasan yang ada di dinding republik ini, dan ketika ada konflik baru sang ‘pemilik rumah’ kebakaran jenggot. Tengok ketika Malaysia mengklaim Angklung, Batik, dan Reog Ponorogo beberapa tahun yang lalu.

Semua ramai ikut bersuara, seolah seluruh pemimpin dan rakyat Indonesia adalah pegiat seni, kritikus budaya, dan pioner budaya. Tapi ketika tidak ada konflik, semua acuh diam bukan lagi seribu bahasa, tetapi sejuta bahasa.

Sama halnya dengan konflik budaya yang ada di Indonesia, peristiwa Sampit, Poso, atau konflik-konflik di Papua membuat kita harus menata ulang bagaimana cara kita memperlakukan suatu budaya.

Ontologi Budaya

“Kami ciptakan kalian bersuku-suku, berbangsa-bangsa supaya kalian saling mengenal satu sama lain”, begitu firman Allah dalam Al Quran. 

Secara ontologis, manusia sudah berbeda-beda dan tidak ada yang sama. Bahkan, si kembar pun masih memiliki perbedaan. Namun, apakah keadaan perbedaan ini pada dasarnya damai atau semua yang berbeda itu pada dasarnya berkonflik.

Kita seringkali terjebak dalam sebuah pernyataan normatif seperti perbedaan adalah untuk persatuan atau berbeda, tetapi satu. Persatuan dan tetap satu adalah dasar keinginan dan cita-cita yang terus diimpikan setiap orang. Di sini lain, setiap budaya memiliki ideologi yang tidak bisa dikompromikan lagi.

Kondisi juga kadang mempengaruhi konflik suatu budaya. Tengok saja warga keturunan Tionghoa ketika mereka tinggal di suatu wilayah, biasanya mereka berkumpul di tempat tertentu. Daerah itu biasa kita sebut pecinan. 

Apakah mereka tidak mau berbaur dengan penduduk asli, atau mungkin juga penduduk asli masih memiliki sentimen terhadap segala sesuatu yang berbeda dengan diri mereka.

Begitu pula dengan warga pendatang yang bermukim di wilayah jauh. Di Lampung misalnya, ada perkampungan orang Jawa, ada juga perkampungan orang Sunda atau perkampungan orang Bali. 

Mendengar hal itu seolah kita tidak memiliki kampung yang lebih besar, yaitu kampung Indonesia. Entah ke mana Indonesia ketika kita berada dalam wilayah yang lebih kecil, yang ada hanyalah kesukuan-kesukuan.

Jangankan soal budaya, soal KTP (Kartu Tanda Penduduk) saja seringkali menyisakan problem. Anda yang ber-KTP Bandung atau Jakarta dan tinggal di daerah lain tidak akan memiliki hak sebagai warga negara untuk memilih di lingkungan yang berbeda dengan identitas KTP Anda. Anda harus balik ke kampung halaman kalau mau ikut pemilu, bayar pajak kendaraan, atau mengurus SIM.

Multikulturalisme

Banyak aktivis yang dengan giat mengkampanyekan semangat multikulturalisme agar konflik budaya bisa dicegah dan dihentikan. Tetapi, ketika kita mendengar cerita teman dari Papua, semua menjadi lain.

Misalnya, ketika ia berbicara tentang konflik di Papua, lalu seorang tokoh mengajukan gagasan multikulturalisme. Apa jawab dia? Multikulturalisme hanya ada di atas kertas, di atas tanah Papua tidak ada. Mendengar itu saya langsung kaget.

Ia kemudian bercerita tentang bagaimana kondisi pendatang dan penduduk asli Papua di sana. Hingga sekarang masih digunakan istilah-istilah yang cenderung sentimentil ketika membedakan antara penduduk asli dan pendatang.  

Apapun itu, perbedaan memang seringkali menjadi pemicu utama terjadinya konflik budaya di tengah masyarakat. Oleh karena itu kita harus selalu mengkampanyekan sikap saling hormat – menghormati, saling menghargai diantara kita agar tercipta suasana damai dan kondusif dalam masyarakat. 

Perlu dipahami bahwa setiap konflik budaya yang terjadi hanya akan menciptakan kesengsaraan dan trauma yang berkepanjangan. Lebih baik kita berusaha untuk mencegah agar konflik budaya itu tidak terjadi daripada mengobati dan memperbaikinya.

Mas Pujakusuma
Mas Pujakusuma "Visi Tanpa Eksekusi Adalah Halusinasi" - Thomas Alva Edison

Posting Komentar untuk "Masalah Budaya dan Tata Nilainya"