Makalah Kebudayaan Jawa: Ronggowarsito Pujangga Klasik Terakhir
Hal yang akan kita bahas sekarang, yaitu mengenai makalah kebudayaan Jawa. Pada kekinian daerah yang disebut sebagai Jawa adalah meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Padahal, dahulu kala yang disebut dengan Jawa yaitu seluruh pulau Jawa dengan sebutan Jawa Dwipa. Oleh karena harus mengikuti pandangan masyarakat saat ini, Jawa yang dimaksud dalam artikel ini adalah wilayah Jawa Tengah secara kekhususan.
Dalam berbagai makalah kebudayaan Jawa, banyak kiranya menjabarkan berbagai informasi mengenai sejarah, tokoh, ataupun seluk beluk sosialitas yang berkembang. Melalui makalah kebudayaan Jawa, kita dapat mengetahui asal usul suatu daerah secara jelas.
Kenapa disebut kebudayaan Jawa? Hal itu berkaitan dengan penelitian kultur dan peninggalan sejarah yang dilakukan oleh intelektual kolonial yang bertujuan untuk mempelajari keragaman dan kekayaan kebudayaan di Jawa. Kemungkinan tidak termasuk Jawa Barat karena dari dahulu hingga sekarang sebutannya adalah tatar Sunda.
Nah, orang-orang Belanda yang melakukan penelitian kultur dan peninggalan sejarah di Jawa ini dikenal dengan sebutan Javanolog atau orang-orang yang berkeahlian sebagai peminat kultur Jawa dan peninggalan sejarahnya.' Apa yang mereka teliti tersebut juga banyak dibahas dalam berbagai makalah kebudayaan Jawa.
Data-data yang diperoleh dari Javanolog kolonial, diantaranya adalah tercantum nama-nama tokoh yang sedikit banyak mempengaruhi dan karena banyak menyumbangkan karya-karya besar sebagai sastrawan, sebagai ahli politik, ataupun sebagai raja.
Walaupun sesungguhnya masih banyak data-data yang belum komplit atau masih banyak bukti-bukti sejarah jawa yang menjadi misteri sampai saat ini.
Para Javanolog Belanda ini juga telah banyak mengamankan berbagai bukti sejarah dalam bentuk kitab-kitab karya para empu dan artefak yang menjadi ciri khas dari beberapa candi di Jawa Tengah dan Jawa timur.
Seperti patung terbesar pada stupa tertinggi candi Borobudur yang sekarang berada di negeri orang. Sebuah ironi tersendiri jika sebuah bangsa telah kehilangan bukti-bukti kesejarahan yang seharusnya menjadi kebanggaan generasi dan bangsanya malah justru raib digondol bangsa asing.
Makalah Kebudayaan Jawa - Jawa Klasik
Dalam banyak tulisan pada makalah kebudayaan Jawa terpotret sebuah nama yang begitu melegenda karena keahlian sastra dan “meramalkan” masa depan, dari berbagai karya-karyanya diantaranya adalah dalam bentuk tembang atau syair dalam berbagai laras.
Hal itu membuktikan bahwa nama Ronggo Warsito bukanlah nama asing lagi jika diperdengarkan pada masyarakat khususnya masyarakat Jawa.
Ronggo Warsito lahir pada 10 Zulkaidah tahun Jawa 1728 dalam kalender masehi adalah 15 maret tahun 1802 dengan nama kecilnya yaitu Bagus Burham.
Terlahir dari kalangan ningrat keraton Surakarta Solo, dari ayahnya yang bernama R. Tumenggung Sastronegoro dan kakeknya yang bernama R. ng. Yosodipuro I. kakeknya adalah seorang pujangga keraton Surakarta yang terkenal.
Maka masa kanak-kanaknya Dia dikirim ke sebuah pondok pesantren Tegalsari Ponorogo Jawa Timur yang dipimpin oleh seorang kyai bernama Kyai Imam Basri.
Begitulah seorang Ronggowarsito kecil yang menghabiskan waktu kanak-kanaknya di pondok pesantren untuk mempelajari berbagai ilmu agama dan budi pekerti.
Namun, jauh dari perkiraan harapan seorang guru ketika melihat perilaku Ronggowarsito kecil yang senang melakukan aktivitas yang dilarang agama, seperti berjudi dan sabung ayam.
Hal itu membuat gurunya kecewa dan mengusir Ronggo Warsito dari pondok pesantren (dalam kisah lain diceritakan Ronggo Warsito pergi dari pondok pesantren karena jenuh dengan aktivitas belajar mengajar di pondok pesantren).
Kepergian Ronggowarsito membuat gurunya merasa bersalah karena wangsit yang diterima sang guru tentang Ronggowarsito yang harus kembali ke pondok pesantren jika ingin wabah hama yang menyerang pertanian di Tegal Sari hilang.
Pada usia 18 tahun sebagaimana kebiasaan anak priyayi waktu itu, Bagus Burham ingin mengabdikan dirinya pada keraton. Sebagai awal nya, dia magang menjadi (pegawai percobaan) pada Kadipaten Anom.
Jiwa senimannya atau darah kepujanggaannya terasa mengalir deras di tubuhnya. Tidak merasa puas dengan pekerjaan magang tersebut, maka Bagus Burham mohon pamit sebab dirasa tidak ada kemajuan. Dia ingin mengembara ingin bertualang menuruti gejolak darah senimannya.
Hampir seluruh pelosok pulau Jawa telah dijelajahi oleh Bagus Burham. Bahkan juga luar Jawa, seperti Bali, Lombok, Ujung Pandang, Banjarmasin bahkan ada sumber yang mengatakan pengembaraan Bagus Burham sampai di India dan Srilanka.
Melihat perjalanan hidupnya seperti tersebut, pantaslah kalau Bagus Burham menjadi manusia yang kritis menghadapi suatu persoalan. Salah satu karyanya adalah "Serat Joko Lodang" yang juga banyak dibahas pada makalah-makalah kebudayaan Jawa.
SERAT JOKO LODANG
1. Jaka Lodang Gumandhul
Praptaning ngethengkrang srumuwus
Eling-eling pasthi karsaning Hyang Widhi
Gunung mendhak jurang mbrenjul
Ingusir praja prang kasor
Joko Lodang datang berayun-ayun di antara dahan-dahan pohon
kemudian duduk tanpa kesopanan dan berkata dengan keras.
“Ingat-ingatlah, sudah menjadi kehendak Tuhan
bahwa gunung-gunung yang tinggi itu akan merendah
sedangkan jurang yang curam akan tampil ke permukaan
(akan ada zaman yang terbalik), karena kalah perang maka akan diusir
dari negerinya.
2. Nanging Awya Kliru
Sumurupa kanda kang tinamtu
Nadyan mendak mendaking gunung wis pasti
Maksih katon tabetipun
Beda lawan jurang gesong
Namun jangan salah terima mengartikan kata-kata ini.
Sebab bagaimanapun juga meskipun merendah kalau gunung
akan tetap masih terlihat bekasnya.
Lain sekali dengan jurang yang curam.
3. Nadyan Bisa Mbarenjul
Tanpa tawing enggal jugrugipun
Kalakone karsaning Hyang wus pinasti
Yen ngidak sangkalanipun
Sirna tata estining wong
Jurang yang curam itu meskipun dapat melembung, namun kalau tidak ada tanggulnya sangat rawan dan mudah longsor. (Ket. Oleh karena ini hasil sastra, maka tentu saja multidimensi.
Yang dimaksud dengan jurang dan gunung bukanlah fisik, tetapi hanyalah sebagai yang dilambangkan). Semuanya yang dituturkan di atas sudah menjadi kehendak Tuhan akan terjadi pada tahun Jawa 1850. (Sirna=0, Tata=5, Esthi=8 dan Wong=1). Tahun Masehi kurang lebih 1919-1920.
Serat Joko Lodang ini dinyanyikan dalam laras gambuh. Mengisahkan keadaan zaman yang pasti mengalami perubahan dengan simbolisasi gunung dan jurang.
Jika gunung –gunung tinggi akan lebih merendah dan jurang-jurang terjal akan naik ke permukaan adalah tanda dimana zaman yang terbalik, semua seba terbalik, hal baik dianggap buruk, dan hal yang buruk dianggap baik.
Dalam berbagai makalah kebudayaan Jawa diceritakan berbagai kisah keterbalikan zaman juga banyak diulas pada karya-karyanya yang lain, yaitu "Serat Sabdo Jati" atau juga "Serat Kalatidha". Kisah-kisah yang terdapat pada makalah kebudayaan Jawa tersebut sangat menambah wawasan kita mengenai sastra.
Dipercaya bahwa beberapa karya Ronggowarsito adalah semacam peramalan tentang masa depan bagi yang mempercayainya. Diyakini bahwa telah terjadi dan terbukti beberapa ramalan yang dirumuskan oleh seorang Ronggo Warsito.
Nama dari ramalan Ronggowarsito adalah ramalan Joyoboyo, konon karena secara tidak langsung Ronggowarsito telah banyak mempelajari berbagai karya Joyoboyo yang dituliskan oleh Mpu Sedah.
Sedangkan nama Joyoboyo sendiri adalah seorang raja dari kerajaan Kediri yang pada masa kekuasaannya Kediri mengalami kemakmuran dan kemajuan pada seni dan pertanian.
Makalah Kebudayaan Jawa - Telaah Kritisnya
Di tubuh masyarakat Jawa telah tumbuh berkembang anggapan bahwa Ronggowarsito telah banyak melakukan ramalan. Terlebih ketika menghubungkannya dengan Joyoboyo yang disebut sebagai manusia “ngerti sadurunge winarah” atau mengerti sebelum melihatnya.
Oleh karena itu, terkesan adanya nilai mistis yang terkandung pada karya-karya Ronggowarsito yang akhirnya adalah sedikitnya adanya telaah kritis mengenai karya-karya beliau.
Hal tersebut menyebabkan peminat sastra jawa pun jarang sekali mendapatkan pelajaran baru dari karya-karya sastra Ronggowarsito selain dari pada sebuah ramalan.
Pada paruh abad sembilan belas, ada empat kerajaan yang saling berebut klaim sebagai satu-satunya pewaris sah bagi budaya Jawa dan kejayaan Mataram di masa silam.
Keempat kerajaan itu adalah Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta, serta Kasultanan dan pakualaman di Yogyakarta.
Di sisi lain zaman modal mulai merangsek di pedesaan Jawa, sejalan dengan ide Van den Bosch memperkenalkan tanam paksa.
Tujuannya jelas, yaitu komoditas perkebunan sedang laku keras di pasar Eropa. Tanam paksa itulah yang kemudian mengubah wajah Jawa menjadi berbeda dalam arti yang sebenar-benarnya.
Tanam paksa dengan segala konsekuensinya tentu mengharuskan pegawai Belanda bekerja lebih dekat dengan pegawai bumi putera.
Tentunya hal tersebut mensyaratkan banyak ahli tentang kejawaan berbangsa Belanda yang dapat berbicara bahasa Jawa dan memahami berbagai hal tentang Jawa.
Latar belakang itulah yang mengilhami terbentuknya Instituut voor het Javaansche Taal di Surakarta. Belakangan, lembaga inilah merupakan tempat dimana ahli-ahli Jawa kebangsaan Belanda mempelajari bahasa Jawa dan melakukan kunjungan-kunjungan ke Dieng, Borobudur, dan Prambanan untuk mengetahui tradisi Jawa kuno.
Di tahun 1840, lembaga ini kemudian diganti dengan dengan Royal Academy yang didirikan di Deft dan kemudian pindah ke Leiden dan berhubungan langsung dengan Universitas Leiden.
Untuk ini, kita mesti mengingat Taco Roorda sang pendiri Javanolog Belanda di Universitas Leiden. Metode dan modal. Begitulah budaya Jawa ditaklukan oleh Javanolog demi kepentingan kolonial.
Minat besar Javanolog Belanda terhadap bahasa jawa kuno dan dengan dukungan dana, metode serta lembaga yang kuat pada akhirnya membeberkan satu hal, yakni dangkalnya pemahaman orang Jawa terpelajar tentang tradisi Jawa kuno itu sendiri.
Javanolog-javanolog itulah yang berhasil menemukan, mengembalikan serta kemudian membentuk dan memberikan makna terhadap masa lalu Jawa.
Di sinilah letak menariknya peran Ronggo Warsito sang pujangga istana Kasunanan Surakarta. Terjepit dan dimusuhi rajanya yang menjadi abdi Kumpeni, Ronggowarsito memilih menyepi dalam karya-karyanya.
Wajar kemudian bila syair-syair Ronggowarsito lebih memilih nada-nada yang getir dan marah yang disimpannya diam-diam. Kemarahan itulah yang kemudian mendapat tempat ketika jawa mengalami kekacau-balauan, hingga karya-karyanya kemudian diolah menjadi karya unggulan.
Ramalan? Tentu saja bukan, Ronggowarsito hanya memotret kekiniannya. Kekinian ketika Jawa secara teritori dan budaya takluk setakluk-takluknya pada modal.
Di masa-masa awal para Javanolog bekerja, pemahaman Ronggowarsito akan budaya Jawa kuno juga memberikan andil dan menempatkan dirinya menjadi rujukan para javanolog-javanolog yang berniat mendalami budaya Jawa.
Benarkah Ronggowarsito memang mempunyai kemampuan mendalami ke-Jawaan? Akhirnya, pembaca akan dihadirkan pada kenyataan bahwa tidak selalu memandang sesuatu hanya dari satu sisi saja.
Untuk menjaga nilai keobjektifan dalam memandang masalah ini, tentunya akan lebih baik ketika kita juga melakukan perbandingan pada makalah-makalah kebudayaan Jawa yang beredar di tengah masyarakat.
Posting Komentar untuk "Makalah Kebudayaan Jawa: Ronggowarsito Pujangga Klasik Terakhir"