Wayang Bagong Media Kritik pada Zaman Belanda
Berbicara tentang dunia pewayangan, maka tak akan bisa dipisahkan dari popularitas salah satu anggota punakawan yaitu Bagong. Tokoh wayang ini memiliki ciri fisik dan karakternya sendiri yang mudah diingat.
Wayang ini hadir dengan sejarah yang panjang dan kemudian bermunculan versi-versi Bagong di daerah lain yang kemudian memperkaya seni pewayangan Indonesia tentunya.
Karakternya yang kocak tak hanya dipergunakan untuk melawak. Pada masa penjajahan Belanda, Bagong dijadikan alat kritik kepada penguasa yang berkongsi dengan Belanda.
Karakter
Bagong adalah wayang punakawan yang sifatnya memang sengaja dihadirkan untuk menghibur penonton.
Tokoh Bagong ini lalu digambarkan melalui ciri-ciri fisik yang juga mengandung kelucuan dan akan mengundang tawa sebelum ia beraksi. Wayang Bagong memiliki bentuk bulat dan matanya sangat lebar, sehingga tampak lucu.
Satu lagi yang membuatnya terlihat kocak adalah bagian bibirnya yang sengaja dibuat tebal sehingga menimbulkan kesan bahwa dia bermulut memble atau dower. Karakter lainnya adalah gaya bicara wayang Bagong ini yang memang ceplas-ceplos dan semaunya.
Dari sekian wayang punakawan lainnya seperti Semar, Gareng, dan Petruk, Bagong merupakan sosok lugu sehingga terkesan ia menjadi tokoh yang kurang mengerti tata krama karena selalu saja ceplas-ceplos. Beruntung sang majikannya memaklumi.
Aneka Versi
Dalam perkembangannya kemudian, disebutkan bahwa sesungguhnya Bagong bukan merupakan anak kandung wayang bernama Semar.
Semar merupakan sosok penjelmaan dari Batara Ismaya, bersama dengan kakaknya yaitu Togog atau Batara Antaga mereka kemudian diturunkan ke dunia. Mereka bermaksud untuk mengasuh anak keturunan dari Batara Guru yang merupakan adik mereka berdua.
Sebelum mereka benar – benar turun ke dunia, Semar dan Togog memohon kepada sang ayah, yaitu Sanghyang Tunggal, agar mereka diberikan teman ketika di dunia. Kepada Togog, ayahnya balik bertanya, siapa kawan sejati manusia yang kemudian dijawab ‘hasrat’.
Sementara Semar menjawab ‘bayangan’. Maka, untuk Togog, ayahnya menciptakan manusia kerdil bernama Bilung, dan Semar diberi manusia bertubuh bulat yang kelak bernama Bagong. Namun versi lain menyebutkan, Semar merupakan cucu dari Batara Ismaya.
Kolonial
Keberadaan kesenian menjadi media tersendiri untuk melakukan kritik. Hingga kini hal itu masih berlanjut. Dalam kasus Bagong, para dalang memanfaatkan gaya bicara Bagong yang semaunya untuk mengkritisi penjajahan kolonial Hindia Belanda waktu itu.
Saat itu, Sultan Agung yang merupakan pemimpin dari Kesultanan Mataram wafat pada tahun 1645, dan kemudian digantikan putranya yang bergelar Amangkurat I.
Namun sifat Amangkurat I sangat berbeda dengan ayahnya yang baik dan bijaksana. Sang anak memerintah dengan kezaliman dan bahkan berani menjalin kerja sama dengan pihak Belanda.
Tokoh wayang Bagong hadir dalam beberapa jenis wayang yang sering dipertunjukkan yaitu wayang orang, wayang golek, dan wayang kulit.
Namun demikian tokoh Bagong ini dalam praktiknya, kesenian tradisional wayang tersebut memang memiliki pakem yang sama terutama merujuk pada kisah Ramayana dan Mahabarata. Hanya memang dalam pergelarannya, masing-masing memiliki ciri tersendiri yang tidak selamanya mengikuti pakem atau lebih dikenal dengan nama sempalan.
Ketika itulah seorang dalang memiliki keleluasaan untuk menjadikan sebagai sarana menyampaikan pesan dan ajaran-ajaran tertentu. Biasanya pada bagian sempalan inilah tokoh wayang Bagong hadir. Para punakawan termasuk tokoh Bagong, mendapat porsi besar untuk berbicara sesuai dengan target dan ajaran tertentu.
Semua jenis wayang yaitu wayang orang, wayang golek dan wayang kulit, sekalipun mengusung cerita atau pakem yang sama, tapi berbeda dalam perwujudannya. Pada wayang orang misalnya seluruh pemainnya adalah dilakukan oleh manusia, yang bergerak sendiri, memiliki karakter sesuai dengan karakter yang diperankannya.
Tentang kesenian wayang orang ini tumbuh terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, beberapa daerah lain seperti di wilayah Cirebon dan Banjar juga termasuk dua daerah yang akrab dengan kesenian wayang orang. Dan tentu saja dalam kesenian wayang orang ini pun tokoh wayang Bagong mendapat porsi besar sebagai tokoh populer.
Wayang golek tumbuh dan berkembang terutama di daerah Jawa Barat, Sumatra, Kalimantan maupun Nusa Tenggara dimana kesenian ini dibawa oleh para transmigran.
Kesenian wayang golek seluruh pemainnya terbuat dari boneka kayu, yang dimainkan sedemikian rupa oleh seorang dalang sehingga seolah-olah terlihat hidup dan bisa bergerak seperti halnya manusia pada umumnya.
Dan sekali lagi tokoh wayang Bagong pun tampil sebagai tokoh yang dikenal karena karakternya yang lucu. Lain dengan kedua wayang tadi adalah wayang kulit.
Kesenian wayang kulit, seperti juga wayang kulit Cirebon, ini rata atau dua dimensi, dan yang ditonton bukan wayang aslinya melainkan bayangan dari wayang yang terbuat dari kulit tersebut pada layar yang dipantulkan sumber cahaya. +
Namun sekalipun bentuk rata karena berupa bayangan, kesenian wayang kulit tetap banyak diminati penonton terutama terletak pada kekuatan alur ceritanya baik yang merupakan cerita pakem maupun cerita sempalan. Dan pada cerita sempalan ini pun kehadiran panakawan seperti Bagong, tetap dinanti.
Dalam konteks sejarah, kesenian wayang tak terpisahkan dari kegiatan para wali dalam mengembangkan agama.
Dalam catatan babad Cirebon, adalah Sunan Kalijaga yang melakukan pakeliran wayang kulit pertama di Cirebon yang sekaligus menjadi dalangnya dan diiringi gamelan sekaten asli Cirebon.
Akibat dari pengaruh ajaran Islam dari Wali Songo itu sendirilah yang memunculkan tokoh-tokoh panakawan tambahan menjadi sembilan (songo), yang meliputi Semar, Curis, Bitarota, Ceblok, Dawala, Cungkring, Bagong, Bagal Buntung, dan Gareng.
Di Cirebon sendiri misalnya perkembangan wayang kulit Cirebon ini tumbuh dan berkembang di Keraton Kasepuhan.
Seperti diketahui bahwa Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506, beliau bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon.
Keraton Kasepuhan mulanya bernama Keraton Pakungwati, sementara Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Adapun sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati.
Kemudian diperluas dan diperbaharui oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1483. Saat ini, Keraton Kasepuhan sangat berpotensi menjadi destinasi wisata, baik sebagai wisata sejarah maupun wisata budaya, juga sebagai situs sejarah dan situs budaya yang memiliki nilai estetika religius yang tinggi, salah satunya dengan mempopulerkan wayang kulit.
Sementara itu dalam kesenian wayang kulit gagrag Banyumasan masih menjadi seni hiburan rakyat yang tak tergantikan sampai sekarang, dan kehadiran tokoh wayang Bagong pun sama saja yaitu populer dan disenangi.
Perkembangan seni wayang gagrag ini menunjukkan ikatan sosial masyarakat yang kuat terhadap budaya yang menjadi pola hidup sehari-hari mereka.
Kecintaan kepada kesenian tradisional dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari tersebut, sehingga pada akhirnya kesenian wayang kulit Banyumasan tetap langgeng dan diminati.
Pada pergelarannya masalah yang sedang hangat di masyarakat bisa diangkat ke dalam wayang kulit Banyumasan ini secara manis sehingga tidak terasa sedang menggurui, terutama karena disampaikan melalui tokoh-tokoh panakawan seperti Bagong.
Dalam setiap pergelaran wayang kulit dan yang menjadi kekuatannya adalah kecenderungannya untuk menyisipkan isu-isu yang tengah beredar di masyarakat yang disesuaikan dengan sumber cerita dari Mahabarata dan Ramayana.
Dengan demikian kehadiran kesenian wayang kulit seperti ini semakin terasa kental dengan kehidupan masyarakatnya itu sendiri.
Dalam pertunjukkan seni wayang kulit Banyumas, lakon Punakawan dimunculkan dalam bentuk empat tokoh seperti Semarsemorodewo, Garengnolo, Petruk Kanthong, dan Baworcarub.
Keempat tokoh ini hadir sebagai tokoh sentral yang sering menghibur dengan lakon jenaka dan petuah yang dibawakan sang dalang dengan bahasa yang menarik sesuai dengan karakter sang tokoh.
Hal lain yang menjadi kekuatan wayang kulit Banyumasan adalah dramatisasi vokal yang dilakukan sang dalang sangat mempengaruhi sanggit cerita atau kata-kata yang digunakan dalam wayang. Iringan gamelan Jawa sangat mempengaruhi pagelaran wayang kulit Banyumas secara keseluruhan.
Sementara faktor isu hangat yang menjadi topik pembicaraan itulah menjadikan wayang kulit Banyumasan ini serasa menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Banyumas itu sendiri.
Dengan demikian seolah-olah para punakawan yang menjadi tokoh sentral dalam setiap pergelaran wayang kulit tersebut benar-benar merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, ada dan hidup bergaul dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banyumas.
Posting Komentar untuk "Wayang Bagong Media Kritik pada Zaman Belanda"