Sosial Budaya Kampung Naga Tasikmalaya
Tatar Sunda terkenal dengan pesona alamnya. Wilayah pegunungan
sambung-menyambung, menciptakan daya pikat bagi siapa pun yang datang
bertandang. Tapi, bukan itu saja pesona dari tanah Parahyangan ini.
Kehidupan sosial budaya masyarakatnya pun tak kalah menarik.
Sebagai
salah satu wilayah yang pernah menjadi pusat kerajaan besar zaman
dahulu (Kerajaan Pajajaran), tatar Sunda menyimpan kekayaan sosial
budaya masyarakat.
Kalau kita cermati, maka kekayaan sosial budaya itu
bisa sebuah warisan yang sangat berharga. Bukan hanya memotret keunikan
masyarakat masa lalu, tapi juga menjadi ‘laboratorium’ kebudayaan yang
tak akan habis digali nilai-nilai kearifan lokalnya.
Setidaknya
ada tiga masyarakat yang kehidupan sosial budaya mereka terbilang unik.
Masih memegang kuat tradisi masa lalu. Perkembangan zaman seakan tidak
punya pengaruh apapun terhadap kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Siapa sajakah ketiga kelompok tersebut? Kelompok sosial budaya itu
adalah masyarakat adat Kampung Pulo, masyarakat adat Suku Baduy, dan
masyarakat adat Kampung Naga.
Dari ketiga masyarakat genuine
tersebut, hanya akan dibahas satu saja, yakni masyarakat adat Kampung
Naga.
Kelompok adat yang keaslian dan keunikan kehidupan sosial budaya
masyarakatnya masih terjaga. Tertarik ingin segera mengetahui keaslian
dan keunikan dari masyarakat adat itu? Berikut pemaparan lengkapnya.
Wisata Sosial Budaya Kampung Naga
Rasanya sangat tepat bila menempatkan Kampung Naga sebagai salah satu tujuan wisata sosial budaya. Sebagai perkampungan yang dihuni sekelompok masyarakat, Kampung Naga kental dengan tradisi menjaga adat istiadat leluhur.
Baik itu dalam sikap dan perilaku sehari-hari, upacara
keagamaan maupun bentuk bangunan yang ada di wilayah perkampungan, sama
sekali tak berubah. Persis sama ketika perkampungan tersebut mulai
dibangun pada masa dahulu.
Teramat langka ada suatu perkampungan
yang secara eksklusif fisik maupun sosial budaya berbeda dengan
perkampungan-perkampungan sekitarnya. Kampung Naga memang berbeda, unik
dan khas.
Sesuatu hal yang sukar ditemui di zaman postmo ini. Zaman ketika sesuatu yang unik dicari-cari keberadaannya. Dihargai dan diposisikan sebagai pemerkaya wawasan dalam kehidupan.
Masyarakat kampung Naga yang sangat bersahaja ditambah dengan sejumlah kearifan lokal yang ada telah menarik banyak wisatawan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Bila diolah dengan tepat, Kampung Naga dapat jadi
pusat wisata sosial budaya di Indonesia, bahkan dunia. Tak seperti saat
ini, Kampung Naga gaungnya baru sebatas level provinsi (Provinsi Jawa
Barat).
Menjadikan Kampung Naga sebagai pusat wisata sosial
budaya tingkat internasional, bukanlah mimpi. Akses ke kampung adat ini
mudah dicapai. Letak Kampung Naga tidak jauh dari jalan utama yang
menghubungkan Kota Garut dan Tasikmalaya.
Dari pusat Kota Garut
hanya sejauh 26 kilometer. Sedangkan dari Tasikmalaya, agak sedikit jauh
yakni sekitar 30 kilometer. Jarak sepanjang itu jika memakai kendaraan
pribadi tidak akan memakan waktu lama, tidak lebih dari setengah jam.
Begitu pula jika menggunakan angkutan umum yang banyak tersedia. Untuk
menikmati suasana sosial budaya masyarakat adat itu, memang dibutuhkan
perjalanan.
Kampung Naga bisa dikunjungi kapan saja, mengingat
letaknya yang tidak jauh dari kota. Hanya saja, bagi siapapun yang
hendak mengunjungi kampung adat yang masih kaya akan ajaran sosial
budaya ini harus mengerti apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Termasuk kapan waktu yang tepat jika hendak memasuki dan berinteraksi
dengan warga dari Kampung Naga secara leluasa.
Menyelami
kehidupan sosial budaya mereka tanpa terkendala aturan adat yang
mengikat siapa pun. Karena aturan yang ada di kampung ini, harus
dipatuhi oleh warga Kampung Naga maupun warga luar yang memasuki kampung
tersebut. Unik bukan?
Bedah Sosial Budaya Kampung Naga
Jadi, pengetahuan memadai perlu dimiliki jika hendak mengunjungi kampung yang disebut-sebut sebagai salah satu pusat sosial budaya masyarakat Sunda tempo baheula. Dimulai dari mengerti di mana letak kampung tersebut.
Kampung Naga berada dalam wilayah pemerintahan Desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Kampung Naga berada
di sebuah lembah yang sangat subur.
Dengan ‘dipagari’ hutan
keramat (leuweung karamat) sebelah barat dan timur, serta bentangan
sawah milik penduduk Kampung Naga di sebelah selatan. Apalagi ditambah
adanya aliran Sungai Ciwulan yang melintasi perkampungan, sungguh asri.
Sungai yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut
tersebut, memberikan warna khas sosial budaya masyarakat yang mengacu
pada kebudayaan sungai.
Bagi siapa saja yang berkunjung ke Kampung
Naga maka akan merasakan nuansa budaya yang sangat kental, di samping
letaknya yang ada di lembah jalan menuju ke Kampung Naga juga berbelok –
belok serta menurun yang dibuat secara berundak.
Jumlah seluruh
anak tangganya (sengked) adalah 335 buah. Kemiringannya mencapai 45
derajat, jadi lumayan curam. Lalu, setelah itu ada jalan setapak yang
menuju ke Kampung Naga.
Geliat sosial budaya masyarakat pun
mulai terasa. Khususnya geliat yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi
penduduk Kampung Naga sebagai petani tadah hujan atau irigasi dari air
Sungai Ciwulan.
Memasuki Kampung Naga berarti memasuki jantung dari kehidupan sosial budaya masyarakat yang masih memegang teguh tradisi Sunda.
Dimulai
dari bentuk rumah adat yang berbentuk panggung. Bahan rumah adat, baik
itu dinding maupun lantainya harus dari bambu atau kayu. Atapnya dari
daun nipah, ijuk atau alang-alang. Bangunan adat khas Kampung Naga
rasanya cukup sebagai gambaran awal kehidupan sosial budaya di kampung
ini.
Gambaran Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Kampung Naga dari Bentuk Rumah
Gambaran sosial budaya masyarakat Kampung Naga yang bisa dilihat dari rumah, ternyata bukan hanya bentuk, tapi juga hal lain. Seluruh rumah di cat dengan bahan kapur, selain dari kapur maka tidak diperbolehkan.
Posisi
rumah diatur dari arah sebelah timur ke arah barat dan menghadap ke
arah selatan. Posisi rumah juga dibuat saling berhadap - hadapan.
Sehingga menyajikan pemandangan perkampungan yang khas berupa rumah kayu
beratap ijuk, berwarna putih dan tertata apik.
Selain bentuk
rumah yang harus seragam, jumlah bangunan pun mesti sama. Dari dulu
hingga sekarang, terdapat 110 rumah dengan 110 kepala keluarga, 1 bale
(aula), 1 leuit (lumbung padi), dan 1 masjid.
Warga masyarakat di Kampung Naga meyakini jumlah tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi karena akan membuat marah nenek moyang mereka.
Kehidupan
sosial budaya yang mereka yakini, menempatkan penghormatan terhadap
arwah nenek moyang sebagai salah satu unsur kepercayaan.
Gambaran Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Kampung Naga dari Aturan-aturan Adat yang Berlaku
Walau penduduk kampung adat itu semuanya beragama Islam, tapi dalam praktik kehidupan sehari-hari, kehidupan sosial budaya mereka bercampur dengan tradisi megalitik, Hindu dan Budha.
Ini bisa dilihat dari cerita atau
mitos tentang asal usul Kampung Naga, ritual atau upacara adat warisan
nenek moyang seperti Upacara Hajat Sasih, Nyepi, Panen, Gusaran,
Perkawinan, seni tradisi khas berupa terbang gembrung, angklung, beluk
dan rengkong.
Selain itu, adanya aturan atau pantangan yang
dalam tradisi Islam tidak ada, namun dijalankan oleh penduduk Kampung
Naga dengan penuh ketaatan. Diyakini sebagai bagian dari kehidupan
sosial budaya mereka.
Aturan atau pantangan itu berupa pengagungan hari
Selasa, Rabu dan Sabtu dalam sepekan. Ada pun pada Syafar (nama bulan
dalam kalender Hijriyah), penduduk Kampung Naga dilarang melakukan
upacara adat atau berziarah.
Aturan atau pantangan lainnya
adalah persis seperti kehidupan sosial budaya masyarakat adat Baduy,
Banten. Yaitu aturan yang melarang barang atau peralatan modern masuk ke
Kampung Naga.
Bahkan bukan hanya peralatan asing, pertunjukan berbagai
jenis kesenian di luar Kampung Naga, juga dilarang untuk diadakan.
Sekali
pantangan itu dilanggar, maka bersiap-siaplah menerima musibah yang
tidak disangka-sangka. Itu kepercayaan yang mereka yakini. Bagian dari
kehidupan sosial budaya penduduk Kampung Naga sejak dahulu.
Selain
aturan atau pantangan, kehidupan sosial budaya penduduk Kampung Naga
pun diwarnai dengan tempat-tempat larangan/keramat. Ada dua tempat atau
lokasi larangan, yakni hutan larangan di sebelah timur dan barat
perkampungan, dan bangunan keramat bernama ‘Bumi Ageung’.
Bangunan ini
hanya boleh dimasuki oleh Ketua Adat pada saat pelaksanaan upacara adat
yang rutin dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.
Segala
keunikan dan kekhasan kehidupan sosial budaya penduduk Kampung Naga,
dapat memberikan wawasan baru akan karakteristik suatu kelompok
masyarakat. Mereka yang tetap bertahan dari keganasan pengaruh budaya
modern. Tak berubah sedikitpun hingga kini.
Posting Komentar untuk "Sosial Budaya Kampung Naga Tasikmalaya"