Mengenal Ragam Wayang Kulit Banyumasan
Jika dibandingkan dengan wayang kulit dan wayang orang di Jawa Tengah dan Yogyakarta atau dengan wayang golek di Jawa Barat, wayang kulit Banyumasan memang kalah populer.
Akan tetapi, wayang kulit dari Banyumas ternyata memiliki keistimewaan dan ciri khusus yang membedakannya dengan jenis wayang dari daerah lain.
Bagi warga Banyumas, Jawa Tengah wayang Kulit Gagrag atau Pakeliran adalah salah satu jenis kesenian kebanggan mereka.
Pada masa kolonial Hindia Belanda, Banyumas merupakan sebuah karesidenan, yakni wilayah administratif yang membawahi beberapa kabupaten dan dipimpin oleh seorang residen. Namun, sejak era 1950-an, wilayah karesidenan dihapuskan dan tidak digunakan lagi hingga saat ini.
Wilayah Karesidenan Banyumas sendiri mencakup beberapa kabupaten, antara lain Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Banjarnegara.
Wilayah dan masyarakat yang menghuni kawasan ini mempunyai ragam budaya yang berciri khusus, termasuk dalam hal bahasa, kesenian, kuliner, karakter, dan lain-lain. Ciri khas peradaban masyarakat Banyumas inilah yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan ”ngapak”.
Wayang Kulit Banyumasan
Salah satu ciri khas kekayaan budaya Banyumas yang menjadi kebanggaan masyarakat “Ngapak” adalah Wayang Kulit Gagrag Banyumasan atau Pakeliran.
Wayang kulit ragam Banyumasan merupakan perwujudan dari karakter dan ekspresi rakyat ”Ngapak” yang lekat dengan sifat sederhana, jujur, berani berterus-terang, lugas, dan apa adanya.
Wayang kulit ragam Banyumas masih menjadi jenis kesenian rakyat yang diminati oleh masyarakat Banyumas dan sekitarnya.
Maka tidak heran apabila ragam wayang kulit ini masih lestari hingga sekarang, berbeda dengan beberapa ragam wayang kulit dari wilayah Jawa Tengah lainnya yang sudah punah karena tidak dikembangkan oleh masyarakatnya sendiri, sebut saja wayang kulit dari Wonogiri, Sragen, Karanganyar, dan sejumlah daerah lain.
Tetap lestarinya wayang kulit ragam Banyumasan hingga kini disebabkan karena jenis kesenian tradisional ini dijadikan wahana untuk mempertahankan nilai-nilai etika, devosional, sekaligus sebagai media hiburan untuk masyarakat. Selain itu, setiap pertunjukan wayang kulit khas Banyumasan pun selalu dijaga kualitasnya.
Pada dasarnya, wayang kulit ragam Banyumasan masih berkiblat pada wayang kulit dari Yogyakarta dan Surakarta (Mataraman).
Banyak dalang wayang kulit ragam Banyumasan yang merupakan lulusan dari lembaga pendidikan dalang yang didirikan oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat maupun Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Oleh karena itu, antara wayang kulit ragam Banyumasan dan wayang kulit gaya Mataraman masih terdapat keterikatan yang cukup erat meskipun masing-masing tetap mempunyai karakteristik dan ciri khas tersendiri.
Lembaga pendidikan dalang di Yogyakarta dan Surakarta yang marak berdiri pada abad ke-20 memang mengarahkan kepada anak didiknya untuk mengembangkan ragam wayang kulit yang disesuaikan dengan gaya atau kearifan lokal dari daerah masing-masing, termasuk Banyumas.
Oleh karena itu, para dalang yang berasal dari Banyumas pun lantas mengembangkan ragam wayang kulit yang kemudian dikenal sebagai Wayang Kulit Gagrag Banyumasan.
Lakon Wayang Kulit Banyumasan
Seperti halnya tema wayang kulit dari Jawa Tengah dan Yogyakarta, tema yang diangkat dalam pagelarannya pun sama, yakni kisah – kisah dari epos Mahabarata maupun Ramayana.
Selain itu juga mengangkat cerita seputar kesultanan Mataram, Pajang dan kisah tentang kerajaan – kerajaan di masa lalu seperti kerajaan Majapahit maupun Kesultanan Demak.
Sebenarnya, ada yang menjadi pembeda dalam lakon yang ditampilkan dalam wayang kulit ragam Banyumasan dengan wayang kulit gaya Mataraman.
Dalam pertunjukan wayang kulit khas Banyumas, keterlibatan Punakawan seringkali lebih ditonjolkan ketimbang tokoh-tokoh wayang yang berperan sebagai ksatria atau bangsawan, seperti Arjuna, Yudhistira, Bima, Nakula-Sadewa, Kresna, Baladewa, Duryudana, Sengkuni, dan seterusnya.
Tokoh-tokoh Punakawan sendiri tidak dikenal dalam kisah Mahabharata versi aslinya yang berasal dari India. Punakawan adalah menjadi tokoh tambahan yang merupakan hasil ciptaan pujangga Jawa namun dikenal juga dalam tradisi pewayangan di beberapa daerah lain di Indonesia, termasuk wayang golek di tanah Sunda.
Barangkali, istilah Punakawan belum begitu familiar untuk sebagian orang, namun bila menyebut nama-nama seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, tentu kita sedikit-banyak sudah pernah mendengarnya.
Nah, mereka itulah yang disebut Punakawan di mana Semar merupakan ayah dari Gareng, Petruk, dan Bagong.
Khusus untuk Bagong, dalam wayang kulit khas Banyumasan lebih dikenal dengan nama Bawor. Selain itu, ada pula Togog dan Bilung yang merupakan Punakawan bagi golongan raksasa.
Dalam kisah pewayangan, Punakawan diceritakan berperan sebagai abdi atau pembantu sekaligus pengasuh dan penasihat bagi para Pandawa Lima yang terdiri dari Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Namun, di balik kesederhanaan Punakawan, tersimpan keagungan yang tidak disangka-sangka.
Semar, sang pemimpin Punakawan, sebenarnya adalah perwujudan lain dari Batara Ismaya atau kakak dari Batara Guru yang merupakan raja para dewa. Penonjolan peran Punakawan dalam wayang kulit khas Banyumasan tersebut bukannya tanpa alasan.
Punakawan yang dicitrakan sebagai rakyat biasa merupakan manifestasi dari masyarakat Banyumas yang memposisikan dirinya sebagai orang kebanyakan alias rakyat kecil, sehingga pesan sosial yang hendak disampaikan dapat lebih diterima.
Beberapa pagelaran wayang ragam Banyumasan yang mengambil tema tentang Punakawan antara lain ”Semar Pejah”, ”Bawor Dadi Ratu”, ”Petruk Krama”, ”Petruk Gugat”, ”Petruk Dadi Ratu”, ”Gareng Mantu”, ”Togog Mantu”, dan sebagainya.
Meskipun menonjolkan peran Punakawan, wayang kulit khas Banyumasan tidak lantas ”menyingkirkan” tokoh-tokoh ksatria dalam setiap pertunjukannya. Banyak juga lakon yang mengangkat para ksatria di dunia pewayangan tersebut sebagai tokoh utama.
Bedanya, yang kerap ditonjolkan adalah para ksatria yang masih muda atau generasi penerus Pandawa Lima dan Kurawa seperti Antasena dan Gatotkaca (anak dari Bima) atau Wisanggeni dan Abimanyu (anak dari Arjuna) sering muncul dan dimainkan.
Inovasi Agar Tetap Lestari
Sekuat apapun bertahan, potensi punah bagi kelestarian kesenian daerah tetap saja mengancam. Kemajuan peradaban ditambah serbuan budaya asing yang dianggap lebih modern bagi kebanyakan orang, khususnya generasi muda, menjadi ancaman sekaligus tantangan tersendiri bagi eksistensi kesenian rakyat, termasuk wayang kulit khususnya wayang kulit ragam Banyumasan.
Oleh karena itu, diperlukan inovasi agar wayang kulit khas warga Banyumas tetap mampu bertahan di tengah gerusan zaman.
Para penggemar wayang bukannya tak tahu dan tak mau tahu mengenai hal tersebut. Di Kabupaten Banyumas dan sekitarnya, saat ini sedang dilakukan sejumlah upaya pembaharuan agar anak-anak muda turut menyukai pertunjukan wayang kulit.
Wayang kulit ragam Banyumasan memang masih cukup digemari oleh masyarakat, namun itu berlaku untuk kalangan dewasa atau orang tua. Sedangkan untuk generasi muda, tampaknya lebih cenderung tertarik dengan produk budaya impor, seperti yang lazim menjangkiti kaum muda manapun di negeri ini.
Selama ini, pergelaran wayang kulit terlanjur identik dengan durasi yang sangat panjang dan lama sehingga tak jarang membuat penonton mengantuk dan beranjak pergi sebelum lakon selesai dimainkan.
Oleh sebab itu, harus ada upaya untuk mengatasi masalah tersebut dan menjadikan pertunjukan wayang kulit menjadi tidak membosankan dan tidak memicu kantuk saat ditonton, serta membuat anak-anak muda ikut tertarik untuk menyaksikannya.
Maka, dilakukanlah sejumlah upaya untuk membuat pementasan wayang kulit di Banyumas agar lebih menarik dan menyenangkan. Salah satunya adalah memperpendek durasi pementasan tanpa harus mengubah isi cerita dengan terlalu berlebihan.
Anak-anak muda cenderung menyukai babak peperangan dan babak goro-goro yang diisi dengan acara hiburan, biasanya berupa sesi humor di mana dalang memainkan wayang tokoh-tokoh Punakawan dengan kocak, sehingga bagian-bagian inilah yang akan ditonjolkan dalam pergelaran wayang kulit versi sekarang.
Selain itu, pembaharuan wayang kulit khas Banyumasan juga bisa dilakukan dengan cara memasukkan tokoh atau karakter baru dalam cerita pewayangan. Dalang Ki Enthus Susmono dari Tegal, misalnya, pernah memunculkan tokoh Superman yang dikisahkan berperang melawan Gatotkaca.
Unsur gamelan yang juga bisa digunakan untuk membuat pertunjukan wayang kulit menjadi lebih menarik. Gamelan Jawa dapat dikolaborasikan dengan alat musik elektronik sehingga menghasilkan irama yang lebih atraktif.
Dengan berbagai cara inovasi tersebut, diharapkan Wayang Kulit Banyumasan mampu bertahan dari terjangan kemajuan peradaban dengan segala unsur modernitas yang dibawanya.
Posting Komentar untuk "Mengenal Ragam Wayang Kulit Banyumasan"