Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Macam-Macam Budaya Lokal di Indonesia

 

suku baduy dalam, sumber sobat budiasa on flickr.com

Indonesia kaya akan berbagai macam jenis kebudayaan. Hal itu terjadi mengingat begitu banyaknya daerah dengan latar belakang budaya yang berbeda pula. Macam-macam budaya lokal ini menjadi referensi kita untuk mempelajari sebuah budaya.
 
Keberadaan dari macam-macam budaya lokal ini menjadi sebuah identitas yang dimiliki oleh setiap wilayah di seluruh nusantara. Sangat menarik untuk kita bisa mempelajari berbagai budaya lokal di seluruh Indonesia. Menyadarkan kita betapa indahnya bangsa yang besar ini.

Masyarakat Budaya Baduy

Di antara sekian banyak masyarakat desa yang ada di Indonesia, sepertinya masyarakat Baduy tidak termasuk yang agresif menuntut banyak hal kepada pemerintah pusat. Seperti tak lekang oleh panas dan hujan, mereka tetap bertahan mempertahankan tradisi yang mereka yakini.
 
Tak pernah tersurat kabar, mereka berdemo menuntut pemerataan pembangunan, meminta-minta dibukanya lowongan pekerjaan, atau memohon ditundanya kenaikan harga barang. Oleh karenanya mereka tetap hidup dalam ketenangan dan kedamaian, tak terpengaruh dengan keadaan di perkotaan.
 
Mengapa bisa demikian? Untuk menjawabnya kita harus mengenal lebih jauh, apa, siapa, dan bagaimana kehidupan dari salah satu macam-macam budaya lokal yang ada di bangsa ini.

Asal Usul Masyarakat Baduy

Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwasannya masyarakat suku Badui yang menetap di kampung Kanekes yakni di kawasan kaki gunung Kendeng, desa Leuwidamar, Banten merupakan keturunan dari sisa-sisa pasukan kerajaan Pajajaran yang setia kepada Prabu Siliwangi.
 
Ada juga yang berpendapat mereka adalah sekumpulan orang yang memang ditugaskan oleh penguasa pada zaman itu, yaitu Raja Rakeyan Darmasiksa untuk menjaga keaslian budaya mereka yang disebut Kabuyutan Jati Sunda atau "Sunda Wiwitan". Jadi memang sejak awal masyarakat Baduy sudah mengemban misi "suci", yaitu menjaga tradisi dan budaya Sunda Wiwitan.

Kepercayaan

Inti dari kepercayaan Baduy adalah konsep "pikukuh" atau kepatuhan yang tercermin dari kalimat "lojor henteu beunang dipotong, pondok henteu beunang disambung". Maksudnya adalah menerima apapun yang sudah ada sejak dulunya dari nenek moyang mereka, tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikit pun.
 
Itulah sebabnya tata cara hidup mereka hampir tidak ada perubahan terutama bagi warga Baduy Dalam. Mulai dari pemujaan, penyikapan terhadap alam, penghormatan terhadap lingkungan, pakaian, mata pencaharian, termasuk alat yang digunakan dan sebagainya. Khusus untuk warga Baduy luar, ada beberapa hal yang bisa ditolerir seperti penggunaan alat, pakaian.

Kepala Suku

Kepala suku atau pemimpin adat tertinggi masyarakat Baduy disebut Puun, sedangkan pelaksana pemerintahan adat sehari-hari disebut Kapuunan yang terdiri atas 4 Jaro. Masing-masing Jaro memiliki tugas yang berbeda-beda.
 
Jabatan Puun berlangsung turun temurun, namun tidak berarti setelah Puun meninggal otomatis digantikan anaknya. Puun dapat berhenti apabila sudah merasa tak sanggup lagi karena uzur dan dapat digantikan oleh kerabat lainya.

Budaya Tabut di Bengkulu

Salah satu lagi yang termasuk dalam macam-macam budaya lokal yang ada di Indonesia adalah budaya Tabut. Budaya ini berkembang di Bengkulu, berupa arak-arakan bangunan yang menyerupai undakan atau candi yang terbuat dari papan kayu. 

Budaya ini telah eksis selama kurun waktu ratusan tahun yang lalu dan hingga kini masih aktif diselenggarakan. Budaya ini merupakan pengaruh dari budaya India yang dibawa ke Bengkulu.
 
Bisa dikatakan budaya ini merupakan hasil asimilasi dari penduduk pendatang dengan penduduk asli yang terjadi pada masa pemerintahan pendudukan Inggris di Bengkulu. 

Budaya ini juga ada unsur agama sekaligus magis, yang dikembangkan oleh keturunan Syekh Senggolo, sebagai orang yang membawa budaya Tabut di Bengkulu. Oleh sebagian orang Bengkulu ini hanya dipandang sebagai tradisi budaya saja, bukan sebagai ritual keagamaan.
 
Budaya ini sekarang menjadi salah satu daya tarik dari segi pariwisata. Banyak masyarakat luar Bengkulu yang tertarik untuk menyaksikan budaya ini setiap memasuki bulan Muharram. 

Hal yang membuat orang lain tertarik untuk menyaksikan budaya arak-arakan Tabut ini adalah aneka bentuk bangunan yang dibuat sedemikian rupa dengan aneka hiasan kertas warna-warni. 

Dari sudut pandang komunikasi, budaya ini menggunakan banyak sekali simbol dan bahasa nonverbal. Simbol yang bisa dilihat dari setiap ritualnya.

Ritual-Ritual dalam Budaya Tabut

1. Ngambik Tanah (Mengambil tanah)
 
Ritual ini dilaksanakan pada tanggal 29 Dzulhijjah 1425 H, atau malam sebelum tanggal 1 Muharam. Pelaksanaannya dilakukan pada dua tempat, yaitu:

Tapak Paderi untuk keluarga Tabut Bangsal. Tapak Paderi merupakan sebuah lokasi yang berada di wilayah Kota Bengkulu, tepatnya di pinggir pantai dan di belakang Benteng Marlborough. Di tepi Pantai Nala, untuk keluarga Tabut Imam. Tempatnya di bawah tebing masjid Hotel Horison.
 
Kedua tempat itu dipilih karena tanahnya belum terjamah oleh tangan manusia dan tidak kotor serta dianggap suci. Pengambilan tanah ini dilakukan di dua tempat yang berbeda, tetapi tanah yang akan diambil berjumlah tujuh belas genggaman tangan tanah yang akan dibentuk menjadi boneka manusia sebagai simbol manusia dan diletakkan di dalam gerga (markas).
 
2. Duduk Penja (Mencuci Jari-jari)
 
Ritual Duduk Penja adalah mendudukkan pending jari-jari yang ditusuk kan di atas pelepah rumbia setelah terlebih dahulu dicuci atau dibersihkan. Jari-jari tersebut terbuat dari bahan lempengan kuningan, tembaga, atau perak dengan bentuk menyerupai jari tangan manusia.
 
Duduk Penja dilakukan di gerga kelompok Tabut masing-masing, waktunya pada tanggal 4 Muharram sekitar pukul 16.00 Wib. Ritual ini melambangkan telah ditemukannya jari tangan Husein bin Ali bin Abi Thalib, juga ketangkasannya dalam berperang dengan menggunakan tangan dan jari-jarinya.
 
3. Arak Penja (Mengarak jari-jari)
 
Arak Penja dilakukan pada tanggal 7 Muharram. Ritual ini dilaksanakan dengan cara menempatkan penja atau jari-jari yang telah dibersihkan tadi, didudukkan di atas Tabut coki (Tabut kecil) untuk kemudian diarak keliling kota. 

Setiap kelompok Tabut akan mengirim regunya, setiap regu terdiri dari 10-15 orang, beranggotakan para anak-anak dan remaja.

4. Arak Sorban (Mengarak sorban)
 
Arak Sorban dilaksanakan pada tanggal 8 Muharram pada malam hari setelah Shalat Isya. Tetapi sebelumnya, setelah Shalat Ashar keluarga Tabut menyiapkan sorbannya terlebih dahulu. 

Arak-arakan diawali dan berakhir di Lapangan Merdeka dengan rute jalan-jalan utama yang sudah ditentukan pihak keluarga Tabut di Kota Bengkulu.

5. Gam (Masa tenang dan tidak melakukan kegiatan lain)
 
Gam berasal dari kata "Ghum" yang artinya tertutup. Pada masa Gam ini, semua kegiatan yang berkaitan dengan upacara Tabut tidak boleh dilaksanakan. Jadi tahap ini dapat juga disebutkan masa tenang. Gam ini dilaksanakan pada tanggal 9 Muharam.
 
Dimulai dari pukul 05.30 - 14.00 Wib. Masa tenang adalah wujud ekspresi dan perasaan empati berkabung dalam rangka mengenang kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib. Ikut bersedih atas kematian saudara sesama muslim, menunjukkan rasa persaudaraan sesama muslim.

6. Tabut Naik Pangkek (Menyusun bangunan Tabut)
 
Pelaksanaannya dilakukan pada tanggal 9 Muharram pukul 14.00 Wib hingga selesai. Inti dari acara ini adalah menyambung bangunan Tabut yaitu bangunan bagian bawah Tabut dengan bangunan bagian atas Tabut. Ritual ini dilakukan dua tahap yaitu:
 
 a. Pada pukul 14.00 Wib sampai dengan selesai sesudah Shalat Dzuhur, kegiatan yang dilakukan yaitu menyambung bangunan puncak Tabut dengan bangunan bagian bawah.

b.  Pada pukul 16.00 Wib sampai dengan selesai sesudah Shalat Ashar, Tabut yang sudah disusun di bawa ke gerga untuk melakukan Soja dan menaikkan penja ke dalam Tabut sebelum diarak menuju tanah lapang (Lapangan Merdeka Kota Bengkulu) untuk diperlihatkan kepada masyarakat.
 
Ritual ini menunjukkan bahwa jenazah Husein bin Ali bin Abi Thalib yang telah terkumpul. Menyampaikan kepada masyarakat bahwa bangunan Tabut sebagai tempat menyimpan jenazah Husein yang tidak menyatu itu sudah selesai dibuat dan akan diarak menuju ke padang Karabela kota Bengkulu untuk melakukan ritual berikutnya.

7. Arak Gedang (Tabut dibawa ke lapangan)
 
Arak Gedang dilakukan pada tanggal 9 Muharram sekitar pukul 19.00 Wib. Acara ini merupakan pelepasan bangunan Tabut yang telah selesai dibuat. Arak - arakan ini diikuti semua Tabut, apakah itu Tabut sakral, Tabut pendamping atau Tabut pembangunan. 

Ritual ini menyiratkan bahwa jenazah Husein bin Ali bin Abi Thalib telah terkumpul semua dan siap-siap untuk dimakamkan. Selain itu juga menghimpun kekuatan dalam rangka melawan musuh.

8. Tabut Tebuang (Tabut terbuang)
 
Acara Tabut Tebuang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Acara Tabut Tebuang ini mengisahkan hari pemakaman Husein bin Ali bin Abi Thalib. Dalam perjalanan dari tanah lapang (Lapangan Merdeka Kota Bengkulu), Gedung daerah sampai simpang lima Ratu Samban.
 
Tabut Bangsal berada di depan, setelah sampai di simpang lima para anggota kelompok Tabut Bangsal dan lainnya istirahat sebentar untuk melaksanakan Shalat Dzuhur lalu bertukar tempat dengan Tabut Imam, karena Tabut Imam harus berpindah ke depan untuk menggantikan Tabut Bangsal dan kemudian meneruskan perjalanan ke padang Karabela Kota Bengkulu.
 
Upacara penyerahan Tabut kepada leluhur di Karbela, yaitu di dekat makam Syekh Syahbedan Abdullah (orang tua Syekh Burhanudin/Imam Senggolo), setelah itu puncak Tabut dilemparkan ke tanah rawa, yang melambangkan sindiran kepada kaum Yazid dan kaum Bani Muawiyah yang rela membuang keimanannya demi merebut kekuasaan.

Mas Pujakusuma
Mas Pujakusuma "Visi Tanpa Eksekusi Adalah Halusinasi" - Thomas Alva Edison

Posting Komentar untuk " Macam-Macam Budaya Lokal di Indonesia"