Pantun Sunda : Kebudayaan Sunda yang Masih Bertahan
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suka bangsa Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda relatif lebih tua, setidaknya dilihat dari kebudayaan tulis-menulis.
Sunda telah memiliki tulisan yang berdiri sendiri berbeda dengan suku-suku yang lain yang berada di Indonesia, meskipun ada juga kebudayaan yang diambil dari kebudayaan Jawa dan epos-epos India dalam bentuk tulisan.
Krisis Budaya sunda
Satu di antara kesenian Sunda yang masih hidup sampai sekarang adalah pantun Sunda yang mungkin sudah jarang dilakukan dengan acara ritual yang semestinya dilakukan pada zaman dahulu.
Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan dengan kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikan dengan Raja Sunda.
Dalam hal ini, sosok Prabu Siliwangi acapkali dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan orang Sunda karena dimitoskan sebagai Raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Dan Parabu Siliwangi seabagai tokoh panutan orang Sunda pada masa itu, telah menapaki setiap daerah yang ada di tatar sunda.
Namun, terdapat pertanyaan besar yang muncul setelah melihat sepintas tentang budaya Sunda yang dilihat dari sejarah budaya menulis dan tulisan serta dijadikan sebagai sejarahnya para raja dan Prabu Siliwangi sebagai tokoh sentral dan idola masyarakat Sunda pada masa itu, masih adakah eksistensi kebudayaan Sunda di mata orang Sunda pada saat ini?
Dengan bertambah pesatnya teknologi dan ilmu pengetahuan tentang teknologi, kebudayaan Sunda kalah bersaing dengan kebudayaan lain terutama kebudayaan asing.
Kebudayaan Sunda sebenarnya sangat penting untuk dipertahankan, namun dewasa ini, hanya kalangan tertentu saja yang secara intensif benar-benar mempertahankan budaya tersebut dengan hukum adat yang juga harus dipertahankan.
Jika dilihat dari sejarah perkembangan budaya, Sunda mengalami krisis karena wilayahnya merupakan wilayah strategis yang mampu memunculkan banyak kebudayaan sehingga terjadi semacam akulturasi yang lambat laun, dan secara tidak sadar, membuat kebudayaan Sunda sendiri menjadi bias.
Hal tersebut juga diduga terjadi karena ‘karakter’ orang Sunda yang lugu sehingga menerima saja semua kebudayaan luar tanpa di saring terlebih dahulu.
Perang Bubat yang pada masa sejarah memiliki nilai-nilai yang tinggi dalam mempertahankan tanah kelahiran dan membanggakan dirinya sebagai manusia Sunda, sepertinya sudah tidak bermakna lagi bagi orang Sunda zaman sekarang.
Terutama mereka yang sudah terpengaruh budaya asing sehingga sistem adat tidak lagi bisa dipertahankan dengan baik karena modernisasi telah membuat mitos canggih atas teknologi untuk memitoskan adat sehingga dianggap sebagai hukum primordial.
Krisis kebudayaan yang bisa dilihat dari kehidupan sehari-hari adalah budaya pernikahan orang Sunda pada zaman sekarang yang tidak lagi menggunakan adat istiadat Sunda.
Lantas, krisis tersebut tidak hanya berpengaruh pada kebiasaan sehari-hari orang Sunda, tapi juga pada ideologi masyarakatnya yang kian lama kian menganut sistem budaya urban.
Budaya yang tidak lagi mengukur sistem kesederhanaan, stabilitas lokal, dan kebersamaan dalam sebuah sistem masyarakat.
Undak usuk basa yang hampir punah, beretika bermasyarakat yang telah tergantikan oleh budaya asing yang kian lama telah mengubur budaya Sunda dan secara lembut menggantikan posisinya dengan gaya hidup modern dengan mitos-mitos canggih produk modernitas.
Budaya sunda,pada zaman sekarang, dianggap kuno dan tidak memiliki daya tarik yang kuat bagi para penggunanya sehingga sangat jarang orang yang mau menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi, apalagi menganut sistem budaya Sunda sebagai gaya hidupnya.
Jika sudah begini, tidak ada yang bisa disalahkan karena akar budaya yang terkikis tersebut tidak diketahui kapan mulanya terkikis oleh budaya asing. Namun, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mempertahankan budaya Sunda, yakni dengan memulai dari diri sendiri.
Sebagai contoh,kita bisa membiasakan diri untuk berbicara dengan menggunakan bahasa Sunda, mendengarkan tembang-tembang dan bobodoran Sunda, melontarkan pantun-pantun Sunda, atau menonton acara-acara kebudayaan Sunda. Dengan begitu, kita mulai mengurangi kemungkinan habis terkikisnya budaya Sunda.
Eksistensi Pantun Sunda di zaman Modern
Pantun Sunda sangat berbeda dengan pantun Melayu. Pantun Melayu adalah semacam syair yang terdiri atas dua bagian, yakni sampiran dan isi. Jenis syair yang seperti itu dalam khazanah masyarakat Sunda disebut dengan sisindiran.
Adapun pantun Sunda adalah salah satu jenis seni pertunjukan berupa cerita tutur yang disajikan dalam bentuk sastra Sunda lama, bisa berupa paparan atau dialog, dan kerap kali dinyanyikan. Pertunjukan pantun dibawakan oleh juru pantun, diiringi kecapi yang ia mainkan sendiri.
Pada awalnya, kecapi yang dipakai untuk mengiringi seni pantun sangat sederhana, yakni kecapi kecil berdawai tujuh, misalnya yang terdapat pada masyarakat Baduy.
Lama kelamaan, seiring dengan berkembangnya seni tembang Cianjuran, kecapi untuk pantun pun diganti dengan kecapi gelung, dan belakangan juga memakai kecapi siter. Jenis Laras yang dipakai adalah laras pelog, tetapi kemudian banyak juga yang memakai laras salendro.
Sejak Zaman Siliwangi
Pantun merupakan seni pertunjukan yang berusia cukup tua. Menurut naskah Siksa Kanda ng Karesyan (ditulis pada 1518), pantun sudah dipertunjukkan sejak zaman Langgalarang, Banyakcatra, dan Siliwangi. Ceritanya juga mengangkat tokoh-tokoh tersebut. Pada naskah kuno Pantun Bogor, juga terdapat pantun yang dituturkan Ki Buyut Rambeng.
Lama kelamaan, cerita-cerita pantun pun bertambah jumlahnya. Misalnya, cerita Ciung Wanara, Lutung Kasarung, Aria Munding Jamparing, Mundinglaya di Kusumah, Gajah Lumantung, Sumur Bandung, Dengdeng Pati Jayaperang, Ratu Bungsu Kamajaya, dan lain-lain.
Sampai sekarang, seni pantun masih hidup. Di Kanekes, Banten, misalnya, yang masyarakatnya hidup dalam budaya Sunda kuno, seni pantun masih sering digelar karena seni ini merupakan bagian dari ritual mereka.
Cerita-cerita dalam pantun Kanekes yang disajikan secara ritual adalah yang memang dianggap suci, misalnya Langgasari Kolot, Lutung Kasarung dan Langgarsari Ngora.
Beberapa nama sangat terkenal pada zamannya sebagai juru pantun. Di Cianjur, pada abad ke-17 dikenal nama R. Aria Cikondang, kemudian pada abad ke-19 muncul nama Aong Jaya Lahiman dan Jayawireja.
Di Bogor, seperti sudah disebutkan, terkenal juru pantun bernama Ki Buyut Rombeng. Adapun di Bandung, muncul nama juru pantun asal Kabupaten Bandung pada awal abad ke-20.
Ritual Penyajian Pantun Sunda
Ada dua bentuk penyajian seni pantun pada masyarakat Sunda. Pertama, untuk hiburan. Kedua, untuk acara ritual (ruwatan). Untuk hiburan, cerita yang ditampilkan adalah salah satu cerita yang dikuasai si juru pantun, tetapi bisa juga atas permintaan penanggap.
Untuk acara ritual (ruwatan), seni pantun mengangkat cerita yang sama seperti dalam pertunjukan wayang, yaitu Batara Kala.
Meskipun ditujukan hanya untuk hiburan, seni pantun tidak bisa disajikan secara sembarangan. Seni pertunjukan pantun masih sangat terikat dengan struktur pertunjukan yang baku, yaitu mengangkat cerita tentang raja-raja Sunda ataupun legenda masyarakat Sunda.
Pola pertunjukan pun harus mengikuti urutan seperti berikut: penyediaan sesajian, ngukus (membakar kemenyan), rajah pamunah, babak cerita dari pembukaan hingga penutupan, rajah pamungkas. Pertunjukan biasanya dimulai pada pukul 20.00 dan berakhir pukul 04.00.
Pantun untuk ruwatan biasanya dipertunjukkan demi keselamatan orang-orang yang termasuk dalam sukerta (yang diincar Batara Kala), yakni anak tunggal, anak kembar, lima anak laki-laki, dan lain-lain. Pertunjukan umumnya dimulai pukul 02.00 hingga pukul 05.00.
Berikut adalah contoh pantun Sunda yang bertema percintaan:
ngala saga sisi huma
disamberan ku waliwis
tiis raga tiis sukma
lantaran jadi ka nu geulis
suwangkung ulah dihumbut
pikeun tihang papanjangan
nu jangkung ulah sok imut
bisi kuring kaédanan.
Berikut adalah contoh pantun Sunda yang berisi nasihat :
ninyuh ubar ku cipati
diwadahan piring gelas
anu sabar éta pasti
ku Allah dipikawelas
papan kiara ditatah
iraha jadi lomari
mun bisa miara létah
mokaha salamet diri
Demikianlah ulasan singkat tentang Pantun Sunda sebagai salah satu Kebudayaan Sunda yang Masih Bertahan. Semoga bermanfaat.
Posting Komentar untuk "Pantun Sunda : Kebudayaan Sunda yang Masih Bertahan"